Cerpen ‘IMLEK DAN KEPALA IKAN BANDENG BUAT IBU’

GAMBARIMLEK-03

IMLEK DAN KEPALA IKAN BANDENG UNTUK IBU
Oleh: Keyzia Chan
Sepasang biji mataku tidak beranjak dari pemandangan miris itu. Tak ada yang aku lakukan selain melihat sambil mengerutkan dahi. Seorang laki-laki berbadan tambun, berkepala botak terlihat sibuk. Bukan para tamu-tamu yang hadir di rumah makannya yang membuatnya nampak gusar. Tetapi, seorang bocah bertubuh kurus, berpakaian kusam telah berhasil membuatnya demikian emosi. Laki-laki bermata sipit tersebut terus menceracau. Tangannya belum beranjak dari telinga bocah itu. Pemandangan tersebut mencuri perhatianku sehingga menunda melahap menu makan siangku kala itu. Bocah tersebut meringis kesakitan. Kepalanya miring-miring mengikuti gerakan tangan si gendut. Meskipun dia terus melenguh, tangan laki-laki itu tidak beranjak dari telinga bocah berusia sekitar 9 tahun tersebut. Apa yang telah diperbuat olehnya? Mengapa tidak seorang pun iba padanya? Tiba-tiba otakku dipenuhi pertanyaan yang membuatku kian bingung.
Tidak ada yang mencoba menghentikan perbuatan laki-laki berkaca mata minus tersebut, termasuk aku. Rambut gondrong bocah itu nampak lepek. Di belakang tadi, si empunya rumah makan mengguyur kepalanya dengan segayung air, ternyata. Beberapa saat kemudian, si gendut berkata dengan suara lantang, “Belum kapok juga rupanya! Jangan datang lagi ke tempat ini. Dasar bocah pembawa sial!”
Beberapa orang yang tengah menikmati makan siang, saling berbisik.
”Kabarnya ayah bocah itu mati bunuh diri.” Salah seorang yang juga sedang makan di warung itu menimpali.
“Tepatnya dipaksa bunuh diri dengan melompat dari lantai 21.”
“Kasak kusuk yang aku dengar, lelaki malang itu tidak sanggup mencari dana dalam jumlah besar yang diajukan pihak rumahsakit. Sekiranya, duit itu untuk biaya operasi persalinan,” ujar laki-laki berambut keriting yang sebelumnya duduk di pojok, lalu bergabung dengan para tamu rumah makan lainnya. Sibuk membicarakan sesuatu yang tidak aku pahami.
“Kabarnya bukan hanya hal itu saja yang menyebabkan dia nekad mengakhiri hidupnya. Tetapi tekanan dari pihak keluarga istrinya yang tidak pernah merestui pernikahannya dengan putri dari keluarga kaya raya.”
“Mungkin sebaiknya aku membawamu ke kantor polisi supaya kamu jera.” Laki-laki tambun berpostur pendek itu berteriak sembari mendorongng bocah tersebut. Bocah itu tersungkur di pinggir jalan. Bibirnya mengatup, rapat sekali. Pada pipi tirusnya terdapat dua garis sejajar—bekas air mata yang jatuh berhamburan. Dia menyembunyikan sesuatu di balik bajunya yang lusuh. Bocah tersebut bersikeras menahannya meskipun si gendut itu memaksa meminta barang yang disembunyikan olehnya.

***
Musim dingin belum beranjak dari Taipe. Matahari lebih sering bersembunyi di balik awan. Suasana muram membungkus kota. Hari ini, BMG memperkirakan suhu udara mencapai 10 derajat celcius, hingga sore. Tidak ada acara sepesial di hari liburku. Minggu, pukul 10.00 waktu setempat seusai mandi—mengenakan beberapa lapis baju supaya menjaga tubuhku agar tetap hangat, dengan langkah santai aku berjalan ke 7-11. Tas punggung berisi kamera dan gadjet, tak ketinggalan menemani acara liburku yang tak bertujuan. Seperti biasa jalan raya nampak lengang setiap hari libur. Setelah melenggang melewati beberapa apartemen dan pertokoan, akhirnya aku sampai di 7-11 sebuah mini market yang buka 24jam tersebut.
Sandwich, dan segelas kopi latte sudah berada di tanganku. Seusai membayarnya di kasir, aku mencari tempat duduk yang masih berada dalam ruangan yang sama. Kuletakkan dengan hati-hati tas punggung biru tua itu. Kemudian aku mulai menikmati sarapanku.
Berada di Negara yang penduduknya mayoritas orang Tionghoa, tak heran jika pada pertengahan Februari, tiga hari menjelang perayaan tahun baru China, sejauh mata memandang setiap sudut kota disuguhi hiasan khas hari raya—warna merah mendominasi. Tahun ini merupakan tahun ke dua keberadaanku di Negara Formosa—sebutan lain untuk Taiwan. Dan atas sepengetahuanku tahun kemarin, seperti penyambutan hari besar di Negara lainnya, masyarakat sibuk menghias rumah dengan pasu-pasu berisi bunga yang sedang mekar. Tak hanya itu saja, di dinding dan pintu akan ditempel hiasan indah seperti puisi, serta ucapan selamat tahun baru yang ditulis di atas kertas merah.
Menurut situs sejarah peradaban China yang aku baca, bulan kabisat yang dipakai untuk memastikan kalender Tionghoa sejalan dengan edaran mengelilingi matahari—selalu ditambahkan setelah bulan 12. Hal ini berlaku sejak Dinasti Shang (menurut catatan ramalan) dan Zhou (menurut Sima Qian). Kaisar pertama China Qian Shi Huang menukar dan menetapkan bahwa tahun Tionghoa berawal di bulan 10 pada 221 M. Pada 104 SM, Kaisar Wu yang memerintah sewaktu Dinasti Han menetapkan bulan 1 sebagai awal tahun, sampai sekarang.
Setiap tempat menawarkan kearifan budaya lokal tersendiri, pun di Negara Republik Of China atau yang lebih dikenal dengan Negara Taiwan. Kearifan yang aku tahu, salah satunya adalah tentang kedisiplinan yang tercermin melalui budaya antri. Bahkan, ketika membeli nasi kotak atau yang di sebut peintang tak ada pemandangan berdesak-desakan atau semacamnya. Aku berharap semoga suatu saat masyarkat Indonesia juga menerapkan budaya antri seperti itu.
Omong-omong soal perayaan hari raya, aku pernah mendengar cerita dari seorang penjaga Kuil Dewi Kuan In di daerah Beitou, Taipe—yang aku kunjungi waktu itu. Biksu itu berkisah, “Menurut legenda penduduk China, dahulu hiduplah seekor naga raksasa di sebuah pegunungan. Naga tersebut dijuluki NIAN yang selalu muncul pada akhir musim dingin. Tentu saja penampakan itu bukan tanpa maksud. NIAN menyerang penduduk di sekitar pegunungan, memakan hasil panen, ternak, dan bahkan penduduk itu sendiri. Untuk menyiasati hal tersebut, sesepuh desa menyarankan untuk menaruh makanan di depan pintu rumah masing-masing. Penduduk berharap penuh, NIAN memakan persembahan tersebut sehingga tidak akan menyerang lagi. Dan doa para penduduk terkabul rupanya. Semenjak itu setiap tahun pada akhir musim dingin penduduk menerapkan hal serupa, turun temurun hingga sekarang yang oleh masyarakat dimaknai dengan perayaan hari raya,” tuturnya panjang lebar.
Seperti halnya di Indonesia, perayaan tahun baru di Taiwan tidak terlepas dari pernak-pernik yang telah menjadi ciri khas. Dan tentu saja setiap benda-benda, serta makanan yang tersaji saat perayaan Imlek mempunyai makna tersendiri. Misalnya, ketika berkunjung ke rumah saudara dengan membawa buah jeruk yang masih terdapat beberapa helai daun segar yang masih menempel di tangkainya, menandakan hubungan kekerabatan itu kian erat. Selain itu, jeruk berkulit kuning yang oleh orang Indonesia disebut jeruk mandarin—melambangkan kegembiraan. Makanan yang tidak kalah penting selain buah jeruk adalah ikan bandeng. Dalam bahasa mandarin, yu memiliki dua arti yaitu, ikan dan kebahagiaan yang melimpah. Sehingga tidak perlu heran jika dalam setiap perjamuan makan, orang China selalu menghidangkan ikan yang disajikan utuh dari ekor hingga kepala. Jika tuan rumah mengambil bagian kepala ikan, lalu diberikan pada tamu—itu merupakan penghormatan tertinggi karena tamu tersebut dianggap orang paling penting.

Aku masih berada di 7-11 saat itu. Belum sempat menelan potongan sandwich yang kukunyah, lagi-lagi aku melihat pemandangan serupa. Bocah laki-laki berambut gondrong, berbaju kusam yang kulihat tempo hari, dia kembali melintas di depanku. Kaca tebal di hadapanku ini, membuat pendengaranku tidak mampu menangkap suara dari luar dengan jelas. Seorang laki-laki nampak berjalan tergopoh. Bocah itu mencoba mensejajarkan langkahnya dengan berlari kecil. Kepalanya terlihat miring-miring karena kuping kirinya dijewer oleh laki-laki itu.
Sekonyong aku mengemasi barang-barang, lantas berjalan mengendap-endap mengikuti keduanya. Lelaki bertubuh tambun tersebut terus menceracau sepanjang jalan. Bocah yang tidak mengenakan alas kaki tersebut, seperti biasa tidak mengucapkan sepatah kata pun. Entah mau dibawa kemana dia? Aku terus mengikuti mereka. Menyusuri gang kecil yang berada diantara bangunan menjulang tinggi. Seperti kejadian kemarin, tidak ada yang mencoba menolong bocah malang tersebut. Ah! Orang kota di mana-mana sama saja. Tidak mau ambil pusing dengan urusan orang lain. Batinku.

Setelah berjalan selama 15 menit, mereka berhenti di sebuah bangunan kecil. Di depan timbunan sampah daur ulang, bocah itu bermukim. Nampak seorang wanita berpakaian kumal sedang duduk di depan rumah berdinding kardus bekas. Kedatangan bocah kecil dan laki-laki tersebut, tidak digubris olehnya. Pandangannya tidak beranjak dari semula. Sambil mengayun-ayunkan tubuhnya, wanita itu terus memilin-milin rambutnya yang kumal. Laki-laki tua itu mendorong bocah tersebut kuat-kuat hingga membuatnya tersungkur. Ada benda kecil terpelanting saat bocah itu terjerembab di tanah. Bocah itu segera bangkit dan memeluk ibunya.
Wanita itu masih saja tidak mempedulikan hal yang terjadi di dekatnya. Pandangannya kosong. Laki-laki itu berkata, “Aku tidak akan segan memenjarakanmu jika ketahuan mencuri makanan lagi, Bocah pembawa sial!” hardiknya. Bocah itu beringsut. Dia membenamkan wajah tirusnya di pangkuan ibu itu. Seperti kurang puas dengan kalimat yang berhasil membuat bocah itu ketakutan, laki-laki itu menendang bokong bocah kecil tersebut hingga dia terguling. Kemudaian dengan langkah besar-besar laki-laki bertubuh tambun yang seingatku ia adalah pemilik rumah makan tempo hari, beranjak meninggalkan tempat kumuh.

Setelah laki-laki itu menghilang dari hadapan mereka, bocah itu nampak mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya—benda terbungkus kantong plastik. Bocah itu sibuk membuka bungkusan. Setelah beberapa saat, cuilan kecil disuapkannya ke mulut sang ibu. Entah dorongan apa, kakiku melangkah mendekat ke arah mereka. Bocah itu tidak mempedulikanku. Lebih tepatnya, tidak menyadari keberadaanku di sana. Rupanya, bungkusan itu berisi sepotong kepala ikan bandeng. Apakah dia mencuri dari tempat lelaki berbadan tambun itu? Bukankah resikonya sangat besar? Bagaimana kalau ucapan laki-laki itu tempo hari, tidak main-main? Pikirku.
Wanita itu masih dengan tubuh yang terayun-ayun, dia mengunyah cuilan kepala ikan hasil jerih payah putranya. Tepatnya hasil dari mencuri. Bocah itu dengan menggunakan bahasa isyarat, mencoba memberi tahu sesuatu pada ibunya. Seulas senyum ceria terpancar dari bibir mungilnya. Rupanya bocah itu tunarungu. Tanpa sadar air mataku meleleh.
Deg! Lagi-lagi aku terperanjat melihat pemandangan berikutnya. Wanita itu mengangkat kedua tangannya. Ditempelkannya telapak tangan tersebut di pipi bocah kecil itu. Dia menatap nanar putranya. Detik berikutnya kedua tangan perempuan itu mengusapa-usap rambut godrong putranya, ke belakang. Aku mengucek-ucek mata, berharap salah melihat. Bocah itu tidak memiliki daun telinga rupanya.
Lagi-lagi tanpa sadar aku melangkah mengampiri ke duanya. Kupungut benda yang terlempar tadi. Alisku berkerut. Di tanganku terdapat sebuah bandul. Melihat bentuk bandul itu, sepertinya terdapat foto di dalamnya. Aku penasaran. Tanpa meminta izin dari pemiliknya, segera kubuka bandul itu. Lalu aku membalikkan badan. Menatap lekat-lekat wanita berambut kumal itu, bergantian memandangi foto yang ada dalam bandul. Gadis dalam foto itu mirip sekali dengan ibu bocah malang tersebut. Dan lelaki paruh baya yang merangkulnya, sepertinya aku pernah melihat tampang orang ini. Pikiranku terus meraba-raba. Aku menggigit bibirku kuat-kuat.
“Bukankah ini lelaki yang sama yang baru saja aku lihat meninggalkan tempat ini,” ujarku pada diri sendiri.

Selesai

Taipe, 5 Februari 2015

One thought on “Cerpen ‘IMLEK DAN KEPALA IKAN BANDENG BUAT IBU’

Leave a comment