Long Distance Relationsick| Belajar Menulis Cerpen Setting Luar Negeri

LONG DISTANCE RELATIONSICK
Oleh: Cris Yunia
Cinta itu cukup menyakitkan ketika rindu sudah menguasai isi kepalamu, di saat kau ingin memeluk seseorang manakala dirimu rapuh, namun yang ada hanya suara, serta lembaran fotonya menghiasi sudut kamarmu. Bukankah itu mengerikan?
***
“Berapa lama?”
“Empat tahun saja.”
“APA! Empat tahun?!” Pupil mata Lia melebar. “Dan kau, Dam, sepertinya, kau menganggap hal itu bukan masalah besar?”
“Kurasa memang begitu?” jawab Dam ringan sambil mengulurkan tangan meraih cangkir kopi yang ada di depannya.
“Kau yakin akan meninggalkanku? Maksudku, aku tahu ini sesuatu yang kamu impikan sejak lama. Tapi, Dam. Ketika kau kembali nanti, usiaku tak lagi muda. Semuanya tak lagi sama.”
“Sekarang atau nanti, bagiku kau tetap memesona. Jangan khawatir.” Dam mengibaskan tangan kirinya. Lia mengerutkan alis tebalnya. Bibir tipisnya memberengut. Menarik napas dalam-dalam dan diembuskannya secara berlebihan.
“Kau tahu, Dam. Bagiku, cinta hanya ada sampai saat ini. Hari ini.”
Kali ini giliran Dam terhenyak. Kopi yang berada dimulutnya, hampir saja menyembur kemana-mana sesaat setelah ia mendengarkan kalimat terakhir dari Lia. Untung saja tangan kirinya lekas membekab bibirnya, rapat.
***
Bulan desember musim dingin ekstrim menyelimuti kota St. Petersburg. Jam, baru saja menunjukan pukul 20.15 waktu setempat, tetapi ruko yang terletak di bantaran sungai Neva sudah tutup. Padahal, pemuda itu hendak membeli minuman. Tetapi ia harus menelan kekecewaan. Tidak ada toko yang buka selain toko yang menjual souvenir di sana pada jam-jam begini.

Dam melangkah membelah jalan menuju sebuah kedai kopi. Asap tipis menyembul dari bibirnya ketika ia mengembuskan napas. Untuk mengusir rasa sepi yang sering menghampirinya, Adamar yang biasa disapa Dam itu, menghabiskan waktu di sebuah kedai kopi bernama Books and Coffee yang digadang-gadang sebagi intisari budaya lokal—memiliki konsep ‘wilayah diam’ tersebut. Di sana dilarang untuk bicara dengan intonasi tinggi. Itu tak masalah bagi Dam, mengingat ia hampir tidak pernah pergi dengan teman. Menikmati secangkir kopi dan membaca buku adalah mustahil merasa kesepian di tempat yang ramah lingkungan tersebut.
Dam meletakkan topi fedora-nya di atas laptop—meja paling pojok. Matanya liar menyapu seluruh ruangan. Artsitektur bergaya klasik dengan penerangan temaram. Tetapi tepat di atas meja tamu yang berbahan kayu—terdapat lampu pijar yang sengaja digantung satu meter di atas kepala. Satu rak buku terletak di bagian kanan. Buku-buku tersebut memang disediakan untuk tamu. Meja bar berada di seberang rak buku. Kesan pertama yang di dapati ketika menjejakkan kaki di kedai ini, damai.
“Bisakah kau memeberiku segelas wine?” Dam bertanya pada pelayan yang menghampiri sebelum sempat membuka daftar menu. Itu ketika pemilik barisan gigi putih tersebut bertandang pertama kalinya. Tentu saja ia kecela sebab Books and Caffe tidak menjual minuman keras—kecuali koktail berbasis kopi lezat dan kue buatan sendiri. Dam seorang pemikir kritis. Rasa ingin tahunya senantiasa berjubel memenuhi batok kepala. Dan itu bukan hal buruk. Dari sana ia tahu bahwa pada bangunan di mana ia sering menghabiskan waktu luangnya itu—terdapat bioskop, juga ruang pameran seni serta tempat pertemuan para seniman. Tentu saja begitu, sebab penggagas ide tempat ini merupakan seorang sastrawan yang terkenal, Aleksandr Zhintsky.
Tidak boleh mengobrol menimbulkan gaduh, bukan berarti dilarang berkomunikasi menggunakan laptop, chatting, misalnya. Itulah kebiasaan yang sering dilakukan pemuda berkulit kuning tersebut. Dam membuka laptopnya. Menyalakan akun skype. Mencoba menghubungi gadisnya. Namun, rasa kecewa sering ia terima sebab Lia tengah sibuk bekerja pada jam-jam begini. Di Indonesia siang sedang memberentang. Sebaliknya, di Benua Eropa malam dingin mengungkung kota.

Bagiku cinta hanya ada sampai saat ini. Hari ini.
Tiba-tiba, kalimat yang terlontar dari bibir Lia dulu, kembali terngiang-ngiang di telinganya. Terkadang, rasa curiga atas pudarnya kesetiaan Lia pun sering mengusik benaknya. Tetapi, Dam buru-buru menepis hal itu. Kepercayaan itu seperti tumbuhan, setelah ditanam lalu di rawat kemudian kelak hasilnya pun nampak.
Namun sialnya pikiran jahat kembali menghantuinya. Sesekali ia berkeluh kesah. Tidak seperti keyakinannya saat itu, ketika ia masih menjajakkan kaki di Indonesia. Dam berpikir jarak bukanlah masalah. Ternyata dalam menjalin hubungan, selain komunikasi—kehadiran sosok yang dikasihi juga penting. Tetapi ia sendiri harus konsisten dengan apa yang sudah dipilihnya. Dam kesepian ditengah ingar-bingar penduduk St.Peterburg, tempat tinggalnya selama empat tahun ini. Dulu, ia bahkan tak pernah menghabiskan malam-malamnya seorang diri—setelah aktivitasnya seharian. Ia mempunyai banyak teman yang memiliki kebiasaan sama dengannya. Gemar nongkrong di kafe sekadar ngobrol atau nonton bola—melepas penat oleh kegiatan hari itu. Namun, pilihannya melanjutkan kuliah hukum pasca sarjana di negeri beruang merah, mau tak mau harus meninggalkan segalanya.
Pada tanggal 27 Mei, ketika Kota St. Petersburg berulang tahun ke-311, ada sebuah puisi cinta karya Serfei Yesinen yang berjudul “Surat Untuk Seorang Perempuan”. Dari bait puisi tersebut, Dam terinpirasi oleh bagian ini: Bertatap Muka. Wajah tak terlihat. Kebenaran hanya tampak dari jauh. Untuk itu ia keukeuh memegang komitmen yang telah ia jalani. Dan atas hal tersebut, Dam menjaga jarak dengan lawan jenisnya. Walaupun notabene ia seorang yang supel pada siapa saja, itu semua hanya sebatas teman biasa.
Pree-VYE-tee-kee.” Adamar terlonjak ketika seorang gadis menyapanya. Beberapa detik ke duanya saling bersitatap sebelum akhirnya Dam berdiri—memastikan apakah ia mengenal sesosok yang dari tubuhnya menguar aroma parfum lembut. Gadis itu menyuguhkan segaris lengkung nan menawan. Bola matanya yang sedikit menjorok ke dalam itu mengerjap-ngerjap. Mungkin bermaksud memohon agar Dam mengizinkannya duduk di sana—meja yang sama.

“Hai,” balas Dam setengah berbisik.
“Bisakah kau membagi mejamu denganku?” tanya gadis itu, sopan.
Tak butuh waktu lama, setelah ke duanya sepakat untuk berbagi meja di kedai kopi yang kebetulan malam itu ramai pengunjung, obrolan renyah mengalir dari bibir masing-masing. Untuk itu, sejenak Dam lupa akan gadisnya serta kekecewaannya acap kali mengajak Lia berkomunikasi yang berakhir hampa.
“Apakah kau tahu, kedai ini dulunya tertutup untuk umum?” Dam mengangkat ke dua alisnya. Seolah mempertegas ia baru mendengar hal itu pertama kalinya.
Gadis berambut coklat itu mengangguk beberapa kali, “Ya, setahuku pada tahun 2012 tempat ini baru dibuka untuk umum setelah sebelumnya hanya dijadikan tempat pertemuan para seniman. Kira-kira tahun 2008.”
“Rupanya kau tahu banyak wilayah sini? Emmm … Maksudku, tentang kedai kopi seperti ini?”
“Begitulah. Kalau kau mau, lain kali aku akan membawa ke suatu tempat yang tak kalah bagusnya dari Book and Caffee ini. Bagaimana?”
“Baiklah. Nanti kita tentukan waktunya,” jawab Dam antusias.
Di tengah obrolan ke duanya, tiba-tiba gadis itu mencondongkan tubuhnya—merapat dengan bagian pinggir meja seraya berbisik, “Apakah kau sudah tahu tentang hal ini? Bahwa lelaki yang mengupaskan pisang pada wanita bersuami, itu artinya lelaki tersebut mengajak wanita itu tidur dengannya.” Dam terbelalak. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tawanya hampir pecah andai saja ia tidak lekas menyadari bahwa di tempat ini di larang gaduh. Lagi pula bukankah setiap Negara memiliki kebiasaan serta ada istiadat berbeda?
***
JAKARTA
Dari Adamar kekasihnya, sedikit banyak Lia mengetahui informasi mengenai kebiasaan penduduk Rusia—tanpa susah payah googling atau semacamnya. St. Petersburg, kota yang dulunya sempat dikenal dengan Linegrad yang juga pernah menjadi Ibu Kota Rusia selama 200 tahun itu, pada musim dingin mobilitas penduduknya baru akan dimulai pukul 12.00 waktu setempat. Sehingga sekadar membeli roti di pagi hari, susah. Kecuali dormitory toko yang memang buka 24 jam. Berbeda dengan Indonesia. Maka dari itu beruntunglah tinggal di negara tropis. Tidak mengalami musim dingin yang gigil sehingga aktivitas sudah dimulai pagi buta.
Mentari pagi memasuki setiap celah kamar. Lia masih berbalut selimut. Tidak peduli alarm meraung-raung memecahkan gendang telinganya. Dan ketika benda itu berhenti berdering, tak jarang gadis itu kembali melanjutkan mimpinya yang tertunda akibat suara alarm. Kalau sudah begitu, ia pasti kelabakan ketika menyadari akan terlambat sampai di kantor.
“Apakah sudah kamu pikirkan lagi?” tanya Dewi di sela-sela makan siang waktu itu, di kantor.
“Tentang apa?”
“Ya, ampun, Lia. Tentang permintaan Dam yang meminta kamu datang ke sana. Di hari valentine nanti.”
Lia mengedikkan bahunya. Menikmati makan siang dengan lahap. Seolah tidak begitu peduli tentang hal itu.
“Kamu masih setia menunggunya tetapi tidak mau berusa memberikan yang terbaik padanya? Apa kamu benar-benar tak takut kalau kekasihmu itu melirik cewek bule?” selidik Dewi ketika makan siang waktu itu.
“Begitulah,” jawab Lia singkat.
Di balik sikapnya yang tenang, ada berbagai persoalan yang dirasakan oleh Pricillia yang biasa disapa Lia itu. Lia sadar bahwa segala hal bisa berubah. Tak ada jaminan kepastian tentang hari esok. Tetapi, ia sendiri yakin bahwa selama ia tidak menyalahi apa yang telah disepakatinya dengan kekasihnya—selama itu pula, Dam juga akan berlaku hal yang sama, mungkin.

***
St. PETERSBURG
Negara penghasil industry yang serba canggih serta modern, penduduknya justru lebih suka menggunakan transportasi umum atau bahkan berjalan kaki. Sehingga kemacetan lalu lintas jarang ditemukan. Dam pun mau-tidak mau mengikuti kebiasaan penduduk di St.Peterserburg—itu menyenangkan, menurutnya. Menyelusuri jalan di sana akan banyak menemukan bangunan tua serta gereja-gereja peninggalan zaman kejayaan Soviet di masa lampau. Salah satunya Saint Isaac yang terletak di depan Hotel Astoria. Mata pemuda itu disuguhi oleh penampakan kubah nan indah yang kini berfungsi sebagai museum.
Bisakah kau menyalakan skype-mu sekarang, Dam?
Satu pesan masuk dari Lia. Dam mengabaikan hal itu. Matanya menatap lurus—memerhatikan beberapa orang yang sedang memancing di atas sungai Neva yang membeku pada bulan desember, malam itu. Dan bahkan kau bisa berjalan-jalan di atas sungai yang membelah kota St. Petersburg pada puncak musim dingin, Januari.
Pemuda itu sesekali menggosok-gosokkan telapak tangannya, lalu menempelkan di pipi. Terkadang menelangkupkan ke dua tangannya di depan mulut—meniupnya beberapa kali supaya udara hangat membantu mengurangi rasa beku pada ujung jemarinya. Ia lupa mengenakan sarung tangan, tadi. Dam berulang kali memelototi layar ponselnya. Tetapi bukan untuk membalas pesan dari kekasihnya yang selama ini sudah banyak membantu Dam demi bisa mewujudkan cita-citanya melanjutkan kuliah di Eropa.
Aku menunggumu di depan Cofe’ St.Petersburg yang berada di Union Street. Satu pesan masuk dari Vera Nadezhda. Gadis Rusia yang ia kenal di kedai kopi beberapa saat yang lalu. Rupanya, Vera menepati ucapannya—mengajak Dam untuk makan malam di sebuah kafe.
Dam lekas mengetik sesuatu di ponselnya.
Aku kurang tahu alamat tempat itu. Bisakah kau memberiku petunjuk arah?
Beberapa saat kemudian, ponselnya kembali bergetar. Lagi-lagi satu pesan masuk dari Lia. Dam yang sedang menunggu balasan pesan dari Vera, benar-benar tidak berniat membuka pesan yang dikirim kekasihnya itu.
Dari Beacon Street ambil jalan melalui gang antara Sovereign Bank dan Peet Coffe & Tea. Ikuti gang setengah jalan. Melangkah pelan-pelan. Restoran itu berada di sisi kiri. Isi pesan dari Vera. Sesaat setelah pesan masuk dari Lia.
Dam tersenyum lega. Lalu memasukkan ponsel ke saku celananya. Ia melangkah besar-besar. Tidak sabar untuk segera bertemu dengan gadis pemilik mata indah yang akhir-akhir ini mampu membuat detak jantungnya berdentum lebih cepat setiap kali memikirkannya.
Rupanya, waktu, jarak, serta kebiasaan baru benar-benar bisa mengubah seseorang menjadi pribadi yang lain. Kau tahu? Dua tahun pertama, Dam cukup piawai menyiasati gejolak yang sering muncul pada dirinya, ketika rasa sepi menderanya seperti setan yang mengerikan. Akhirnya ia menyalahkan hubungan jarak jauh yang disebutnya Long Distance Relationsick. Cinta itu cukup menyakitkan ketika rindu sudah menguasai isi kepalamu. Di saat kau ingin memeluk seseorang ketika dirimu rapuh, namun yang ada hanya suara serta lembaran fotonya yang berada di sudut kamarmu, bukankah itu mengerikan?
Di penghujung tahun ke tiga, Dam pemilik rahang tegas itu sempat berpikir bahwa ia akan mencari pekerjaan dan menetap di tempat tinggalnya saat itu. Namun, tentu saja ibu satu-satunya orangtua Dam keberatan akan hal tersebut. Beruntunglah Dam memiliki kekasih sebaik Lia. Gadis berlesung pipit tersebut bisa diandalkan menjaga sang ibu meskipun ke duanya masih belum resmi terikat dalam sebuah pernikahan.
Dam: Maafkan aku, Lass. Malam ini harus bergadang. Tugas kuliah menumpuk. Kau pasti senang jika aku bisa lulus tepat waktu dan segera kembali kepelukanmu?
Lia memberengut, mengkal. Tetapi ia masih bisa menyembunyikan kekecewaannya itu. Hal ini sudah berlangsung beberapa bulan. Bagaimana pun juga, gadis itu gusar. Hanya saja ia mencoba untuk bersabar menghadapi sikap Dam yang berubah drastis.
Entah demi apa, Lia mulai berpikir untuk menyusul Dam ke negeri beruang merah itu. Berbekal visa turis, uang rupiah yang sudah ditukar dalam bentuk rubel, penginapan dengan tarif terjangkau yang biasa disebut hostel, siap menemani perjalanannya ke Eropa. Alamat tempat tinggal Dam sudah dikantongi olehnya, sehingga ia tak perlu mengabarkan kepergiannya ke sana pada kekasih yang dipacari selama hampir lima tahun tersebut.
Perjalanan panjang menuju ke belahan Benua Eropa membuat Lia kelelahan. Ia tak pernah berpikir tentang resiko yang akan didapatinya ketika keputusan ini diambil. Berbekal bahasa Rusia yang minim, ia mencoba mencari taxi yang akan membawanya ke asrama di mana Dam tinggal. Dan sepertinya supir taxi itu paham benar jika gadis tersebut orang asing yang kurang memahami seluk beluk—kebiasaan Negara itu. Tawar menawar ketika hendak menumpang salah satu taxi, lazim dilakukan. Sayangnya, Lia kurang tahu itu.
“Tunggu! Apa kau tidak salah memasang tarif itu untuk perjalanan yang tidak jauh dari tempat ini, Tuan?” suara lantang seorang gadis berambut coklat ikal, menengahi percakapan tak seimbang antara Lia dan supir taxi.
“Kurasa kau tak perlu ikut campur. Ini bukan urusanmu.”
“Ya, seharusnya ini bukan urusanku. Tapi sayangnya, gadis itu adalah sahabat yang datang dari jauh demi mengunjungiku.” Supir taxi itu mengedikkan bahunya.
“Lalu apa maumu?”
“Tentu saja kami berdua akan menumpang taxi yang sama menuju alamat yang ia berikan padamu beberapa saat lalu. Tapi, kurasa kau tidak akan mencoba menipuku menaikkan tarif atau kami akan mencari taxi lain!”
Supir taxi itu menyerah juga. Ke dua gadis yang tidak saling mengenal itu menaiki taxi yang sama. Setengah berbisik, gadis Rusia itu menyatakan sesuatu.
“Kurasa kebetulan sekali. Ternyata kita memiliki tujuan yang sama.”
“Bagiku di dunia ini tak ada yang namanya kebetulan, Nona. Mungkin kau adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menyelamatkanku dari supir nakal itu,” jawab Lia sambil terkikik.
“Apa kau tinggal di sana? Maksudku tinggal di alamat yang akan kukunjungi?”
“Ah! Tidak! Tidak. Bukan aku yang tinggl di sana.”
Gadis itu mengeluarkan sesuatu. Sesaat kemudian ia terlibat percakapan dengan seseorang melalui ponselnya, “Tunggu di depan, ya, empat menit lagi aku sampai,” ujarnya.
Taxi bergerak melambat. Menepi. Setelah ke dua gadis itu turun, taxi tersebut lesap dari pandangan. Seseorang melambaikan tangan kearah gadis bermantel merah hati itu. Siluet pemuda itu mendekat. Semakin dekat kian jelas wajahnya. Lia menjatuhkan tas jinjing yang dibawanya. Seperti melihat setan, wajah Dam pias. Mulutnya terbuka lebar. Vera menarik tangan Dam. Mengenalkannya pada Lia sebagai kekasihnya.

Selesai.

Taipe, 4 Januari 2014

2 thoughts on “Long Distance Relationsick| Belajar Menulis Cerpen Setting Luar Negeri

  1. katamiqhnur.com says:

    ceritanya dapet..
    salam kenal, jangan lupa visit back yaa..
    di bog MiQHNuR banyak cerpen menarik juga. hehehe
    katamiqhnur.com

Leave a comment